KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN KEBUDAYAAN YANG ADA PADA
MASYARAKAT PESISIR
Oleh:
Andi Gigatera Halil M (D121191054)
Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
ABSTRAK
Negara Indonesia adalah Negara yang memiliki jumlah pulau mencapai kurang lebih 17.500 dan dikenal dengan Negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar, secara garis besar Indonesia memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan Negara lain, yang pertama adalah Indonesia memiliki keunggulan sumberdaya alam yang sangat melimpah, dengan memiliki luas kurang lebih 5,8 juta km2. Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada.
Yang kedua adalah keunggulan pada sumberdaya manusianya. Indonesia menduduki urutan kelima dengan total penduduk kurang lebih 220 juta jiwa dan kurang lebih 60 persen diantaranya hidup dan bermukim di sekitar wilayah pesisir. Sehingga sewajarnya bahwa tingginya kegiatan dan aktivitas sehari-hari yang berkaitan sumberdaya laut dan sekitarnya.
Dampaknya, sumberdaya yang ada pada laut maupun pada pesisir cenderung dieksploitasi secara masif oleh penduduk sekitar, mulai dari menggunakan metode dan alat tradisional sampai dengan menggunakan metode dan alat yang canggih. Aktivitas maupun kegiatan ini menjadi tanda bahwa semakin tingginya penggunaan metode dan alat yang semakin canggih maka akan semakin berdampak pada keberadaan sumberdaya tersebut.
Oleh karena itu, untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya tersebut, maka perlu adanya rancangan dan implementasi batasan ekploitasi yang disesuaikan dengan keberadaan sumberdaya, zonasi dan karakteristik sumberdaya begitupula dengan karakteristik daerah yang ada pada suatu wilayah.
LATAR BELAKANG
Masyarakat yang hidup pada wilayah pesisir biasanya telah menjadi bagian yang hidup secara pluraristik. Maksudnya bahwa kondisi masyarakat pesisir kebanyakan merupakan gabungan dari karakteristik masyarakat yang hidup di perkotaan dan masyarakat yang hidup di pedesaan. Karena kondisi masyakarat yang hidup di pesisir cenderung gampang berbaur dengan budaya baru yang ada atau biasa disebut plurar, sehingga dapat membentuk system dan kebudayaan yang merupakan pencampuran dari beberapa budaya.
Hal yang unik adalah masyarakar yang hidup pada wilayah pesisir, tinggal di dekat pantai merupakan hal yang diinginkan untuk dilakukan mengingat hampir semua aspek kemudahan dapat diperolah dalam kegeiatan sehari-harinya. Beberapa contoh diantaranya; Pertama, kemudahan pada aksesibilitas dari dan ke sumber mata pencaharian yang lebih terjamin, mengingat bahwa sebagian masyarakat yang hidup pada daerah pesisir menggantungkan hidupnya pada aspek perikanan dan laut yang terdapat pada sekitarnya, Kedua, masyarakat yang hidup pada wilayah pesisir lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan MCK (mandi, cuci ,kakus), mereka tidak kesulitan dalam mendapatkan akses jika ingin membersihkan tubuh, mencuci peralatan masak maupun peralatan rumah tangga, mudah buang air (besar maupun air kecil).
RUMUSAN MASALAH
Masyarakat yang hidup pada daerah pesisir cenderung memiliki sifat atau karakteristik khas. Sifat ini sangat erat dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan, pasar dan musim.
Beberapa sifat usaha perikanan yang sangat mencolok ialah keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung dengan kondisi lingkungan, terutama air. Keadaan ini memiliki hubungan yang sangat penting untuk kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hidup pada daerah pesisir. Kehidupan mereka menjadi sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang sangat rentan mengalami kerusakan lingkungan, jika terjasi maka kondisi tersebut dapat menggoyangkan sendi kehidupan sosial ekonomi pada masyarakat pesisir. Sebagai contohnya, pencermaran yang terjadi di pantai Jawa, telah menyebabkan produksi udang tambah turun drastis. Hal ini tentu mempunyai konsekuensi yang amat besar pada kehidupan para petani tambah tersebut.
Karakteristik lain yang sangat mencolok pada kelangan masyarak yang hidup pada daerah pesisir terkhususnya masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Adalah ketergantungan mereka terhadap musim. Ketergantungan ini semakin besar pada nelayan kecil yang tidak memiliki peralatan memadai, pada musim penangkapan para nelayan sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim pecelik kegiatan tersebut menjadi sangat berkurang sehingga menyebabkan banyak nelayan yang terpaksa tidak memiliki pekerjaan.
Kondisi ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup pada daerah pantai secara umum nelayan khususnya. Mungkin mereka mampu untuk membeli barang yang mahal seperti perabotan rumah, dan sebagainya. Sebaliknya, pada musim panceklik pendapat yang mereka terima sangat menurun drastic sehingga kehidupan mereka sangat memburuk.
Secara umum pendapat yang dimiliki oleh nelayan sangat tidak menentu dari hari ke hari. Pada kondisi tertentu nelayan dapat memperoleeh tangkapan yang sangat tinggi, namun pada hari lainnya bisa saja pulang tanpa membawa hasil. Tangkapan yang diperoleh oleh nelayan juga sangat dipengaruhi oleh jumlah yang melaut atau beroperasi pada suatu daerah penangkapan yang sama. Di daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi bisa mengakibatkan terjadinya kelebihan tangkap (overfisihing). Hal ini mengakibatkan jumlah hasil tangkapan nelayan semakin mengecil. Sehingga pada akhirnya sangat mempengaruhi jumlah pendapatan yang mereka terima.
Kondisi seperti ini juga memberikan sumbangsi pada munculnya pola hubungan tertentu yang sangat sering dijumpai pada kalangan nelayan dan juga para petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat patro-klien. Karena dengan keadaan ekonomi yang semakin memburuk maka para nelayan kecil, petani tambak dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang atau barang kebutuhan sehari-hari pada juragan atau para pedagang pengumpul. Dampaknya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pihak pengumpul. Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada pedagang atau juragan tersebut. Pola hubungan ini tidak simetris dan tentu saja sangat mudah berubah menjadi kesempatan untuk mendominasi atau ekploitasi.
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan petani tambak adalah tratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat-alat produksi. Pada masyarkaat nelayan, umumnya ada tiga strata dalam suatu kelompok yaitu:
1. Strata yang pertama adalah strata yang paling atas mereka yang memiliki peralatan seperti kapal motor dengan alat penangkapnya. Mereka biasanya dikenal sebagi nelayan modern. Biasanya mereka tidak ikut jika melaut dan lebih memilih untuk menyerahkannya kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sampai dua atau tiga puluhan.
2. Strata yang kedua adalah mereka yang memilki perahu motor temple. Pada strata ini pemilik biasanya ikut melaut dan memimpin kegiatan penangkapan. Buruh yang ikut mungkin hanya sedikit dan terbatas
3. Strata yang ketiga adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juag merangkap sebagai buruh, tetapi banyak buruh yang tidak memiliki saran produksi, dan hanya memiliki tenaga mereka itu sendiri.
Seringkali nelayan besar juga sekaligus sebagai pedagang atau pengumpul,namun biasaanya pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini merupakan kelas tersendiri,. Mereka menempati posisi yang mendominasi ketika menghadapi para nelayan kecil.
Dalam masyarakat para petani tabak, stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan alat sangat menonjol. Hampir mirip dengan stratifikasi yang ada pada masyarakat nelayan, masyarakay yang berprofesi sebagai petani tambak memiliki tiga strata sosial yang sangat mencolok yaitu:
1. Strata pertama adalah mereka yang sebagai pemilik tambak yang luas
2. Strata kedua adalah mereka yang sebagai pemilik tambak sedang/kecil
3. Strata terakhir atau strata ketika adala para buruh atau para pengelolah tambak
Bagi nelayan, penguasaan alat produksi menjadi sangat berhubungan dengan kemampuan jelajah mereka dalam melaut. Mereka yang melaut hanya menggunakan kapal motor, misalnya dapat melakukan penangkapan dan sekaligus pemasaran di darah yang sangat jauh sementara kapal nelayan kecil yang hanya menggunakan kapal tanpa motor hanya mampu beroperasi pada daerah yang dekat dengan pesisir atau pantai.
Usaha penangkapan dapat menyebabkan hadirnya pola tertentu dalam kebersamaan anggota keluarga nelayan. Bagi para nelayan kecil, misalnya, seringkali mereka berangkat pada waktu sore hari kemudian kembali besok paginya. Sementara mereka yang beroperasi menggunakan kapal motor biasa meninggalkan rumah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Aspek lain yang perlu juga untuk dipehatikan adalah pada masyarkaat yang hidup pada daerah pantai adalah aktivitas kaum wanita dan anak-anak. Pada masyarakat ini, biasanya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah. Wanita biasanya bekerja sebagai pedagang ikan sementara anak laki-laki biasanya sudah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak nelayan kebanyakan tidak bersekolah.
Karakteristik lain dari usaha perikanan yang biasa dilakukan oleh masyarakat yang hidup pada daerah pesisir ini adalah bergantungnya pada pasar. Tidak seperti pada petani padi, nelayan dan petani tambak sangat bergantung pada kondisi pasar. Hal ini disebabkan oleh komoditas yang dihasilkan oleh mereka harus dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi keperluan hidup. Jika pada petani padi yang bersifat tradisional dapat hidup tanpa menjual hasil panennya atau hanya menjual sebagian saja, maka nelayan dan petani tambak tidak demikian, mereka tetap harus menjual sebagian besar hasil tangkapannya.
sejarah dalam pengelolahan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir telah muncul sejak jaman nenek moyang dahulu mulai memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebelum era modern seperti saat ini pengelolahan sumberdaya alam masih bersifat local, dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana. Beberapa contoh atau ciri dari pengelolahan sumberdaya alam secara tradisional yaitu:
1. Pengelolahan sumbedaya alam cenderung berlaku secara berkelanjutan
2. Struktur pihak yang terlibat cenderung masih dilakukan dengan sederhana
3. Pemanfaatannya cenderung terbatas dan termasuk dalam skala kecil
4. Karakteristik masyarakat dan kegiatannya relatif homogen
5. Manajemen berasal dan berakar pada masyarakat
6. Rasa dalam memiliki dan bergantung pada sumberdaya alam sangat tinggi
7. Rasa untuk melindungi dan menjaga sangat tinggi
Aturan yang diterapkan biasanya muncul akibat permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarkat itu sendiri. Aturan-aturan dan kebijakan ini kemudian diterapkan atau ditetapkan. Diresmikan dan disepakati bermasama oleh masyarakat sebagai suatu undang-undang tersebut juga berlangsung diaplikasikan oleh masyarakat atau hukum yang juga dikenal dengan hukum adat. Dalam implementasinya, aturan tersebut juga diaplikasikan oleh masyarakat dan masyarakat juga yang akan melakukan pengawasan dan evaluasinya.
Dalam system pengelolahan di atas dapat disimpulkan bahwa system tersebut dapat berjalan dengan baik di dalam struktur masyarakat yang masih sederhana dan belum dimasuki oleh pihak luar. Hal ini disebabkan baik budaya, kegiatan masyarakat, tatanan hidup yang relatif homogeny dan masing-masing individu merasa mempunyai kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam mengawasi dan melaksanakan hukum yang sudah disepakati bersama-sama. Hal yang sangat menunjang efektifitas penerapan dan pengawasan dari hukum-hukum tersebut, dikarenakan adanya rasa ketergantungan dan rasa kepemilikan dari masyarakat akan keberadaan sumberdaya alam yang ada dalam menunjang kehidupan mereka, keadaan ini dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari.
Masyarakat yang tersusun secara sederhana memiliki system pengelolahan yang berakar pada masyarakat, di mana setiap proses pengelolahan mulai dari perencaaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan sampai pada penerapan atau pelaksanaan sanksi hukum, dilakukan secara bersama oleh masyarakat. Dampaknya, segala aturan yang telah dibuat dan diseepakati bersama cenderung dapat dilakukan dan ditaati dengan sepenuh hati. Di samping itu, setiap anggota masyarakat juga merasa memiliki beban tanggung jawab dalam pengawasan dari aturan-aturan tersebut.
Banyak contoh dalam penerapan praktek manajemen tradisional yang dapat dikaji sebagai salah satu bentuk dalam pendekatan pengelolahan sumberdaya alam yang melibatkan pertisipasi luas dari masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir.
Seke di Desa para, Kabupaten Sengihe Talaud, Propinsi Sulawesi Utara
A. Batas wilayah dan lokasi
Contoh penerapan mekanisme tradisional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tradisi Seke yang sering dijumpai di Desa Para, Kabupaten Sangihe Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Dalam kasus ini, sumberdaya alam yang dikelolah ialah sumberdaya perikanan, karena memang sebagian besar masyarakat Desa Para memiliki pencaharian sebagai nelayan.
Menurut Wahyono et.al (1992), masyarakat yang tinggal pada Desa Para mengenal 3 jenis wilayah peraian yang dijadikan sebagai tempat untuk menangkap ikan. Yaitu (1) Sanghe (2) inahe dan yang ke (3)Elie. Sanghe adalah wilayah laut yang pada lokasinya terdapat terumbu karang, di mana pada perairan di sekitar terumbu karang banyak dihuni oleh ikan karang, sedangkan wilayah inahe adalah wilayah yang menjadi batas antara wilayah sanghe dan elie. Sementara itu, Elie adalah suatu wilayah penangkapan ikan yang lokasinya berada paling jauh dari dataran.
B. Organisasi dan keanggotaan
Dalam proses pengelolahan sumberdaya perikanan tersebut, masyarakat Desa Para membentuk sebuah kelompok nelayan yang mereka beri nama Seke. Nama Seke ini diambil dari nama sebuah alat tangkap ikan laying yang berbentuk persegi panjang dan memiliki ukuran p anjang 30 m dan lebar 82 cm. Alat ini dibuat dari tumbuh-tumbuhan local, yaitu pohon bamboo, kayu nibung, dan kelapa dan rotan. Berdasarkan litelatur yang ada, organisasi tradisional Seke ini sudah terbentuk sejak tahun 1912.
Dalam organisasi Seke, dikenal beberapa istilah keanggotaan berdasarkan fungsi dan tugasnya masing-masing, yaitu Lekdeng, tatlide, Matobo, Seke kengkang, Mandeso. Seke Kengkang adalah sebutan untuk anggota yang berada di atas perahu tempat meletakkan Seke (perahu kengkang).
Anggota ini bertugas menurunkan Seke ke laut apabila ada aba-aba yang diberikan pemimpin pengoperasian Seke. Matobo adalah sebutan untuk anggota yang bertugas menyelam dan melihat posisi gerombolan ikan layang sebelum Seke diturunkan ke laut. Tonaas adalah sebutan untuk nelayan yang memimpin pengoperasian Seke, sedangkan wakilnya disebut Tonaseng Karuane. Mandore adalah sebutan lokal untuk orang yang selalu membangunkan anggota Seke setiap kali pergi beroperasi dan membagi hasil tangkapan kepada anggota. Mandore ini mempunyai kemampuan menaksir jumlah hasil tangkapan yang akan dibagikan ke seluruh anggota. Sementara itu, Mendoreso adalah sebutan untuk orang yang menjadi bendahara organisasi Seke (Wahyono et al. 1992). Dari uraian tentang keanggotaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa walaupun bentuknya masih tradisional, tetapi organisasi Seke telah menerapkan konsep bagi hasil yang baik seperti ciri yang terdapat pada organisasi modern
Salah satu hal penting yang dapat diketahui dari konsep pengelolahan sumberdaya perikanan berakar pada masyarkat di Desa Para ini adalah bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan betul-betul oleh, dari dan untuk masyarakat desa Para.
KESIMPULAN
Seke merupakan salah satu contoh pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan, dalam hal ini adalah sumberdaya perikanan, yang muncul dan dilakukan oleh masyarakat secara mandiri. Dalam kasus Seke ini, paling tidak ada dua pelajaran yang dapat dipetik dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam.
Pertama, Seke mengatur sekelompok masyarakat untuk senantiasa memberikan perhatian kepada distribusi pemanfaatan sumberdaya alam kepada seluruh anggota masyarakat. Hal ini tercermin dari adanya pembagian waktu dan lokasi untuk setiap kelompok Seke dalam satu periode waktu (misalnya 1 minggu). Dengan distribusi yang adil seperti ini maka konflik pemanfaatan akan semakin kecil potensinya.
Kedua, selain distribusi penangkapan ikan, tradisi Seke juga mengajarkan pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari sistem bagi hasil yang diterapkan di mana seluruh komponen masyarakat mendapat bagi hasil dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh sebuah kelompok Seke tertentu. Dalam konteks moderen, sistem distribusi pendapatan seperti ini mencirikan adanya konsep pemerataan yang kuat di kalangan masyarakat Desa Para.
Secara umum semangat pengelolaan sumberdaya perikanan yang murni oleh masyarakat seperti kelompok Seke ini perlu diadopsi dalam bentuk baru pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan di Indonesia, sehingga kelestarian sumberdaya alam dan kesejahteraan masyarakat lokal tetap menjadi perhatian utama dibanding kepentingan ekonomi jangka pendek yang menguntungkan salah satu pengguna saja.
Tradisi Rompong adalah suatu tradisi yang mengarah pada pemberian hak pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu kawasan yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kesepakatan adat. Dalam prakteknya, perairan di sekitar Rompong tertentu diklaim oleh nelayan pemilik Rompong sebagaimana layaknya hak milik. Konsekuensi dari klaim itu ialah di dalam radius
kurang lebih satu hektar, tidak seorangpun yang boleh melakukan penangkapan ikan selain pemilik Rompong. Pengecualian terhadap larangan ini ialah penangkapan ikan dengan memakai alat tangkap pancing. Dilihat dari kacamata ekonomi, setiap perompong harus mengeluarkan modal sebesar Rp. 6.000.000 dengan rincian Rp.
1.000.000 untuk 5 unit rompong (@ Rp. 200.000) dan Rp. 5.000.000 untuk pembelian 1 unit perahu motor (tempel). Selain itu, dalam pelaksanaan sehari-hari nelayan perompong juga membutuhkan 4 orang nelayan pembantu. Hubungan kerja antara perrompong dengan nelayan pembantu (anagguru) adalah dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah 50 % dari hasil tangkapan bersih untuk nelayan perrompong dan sisanya sebesar 50 % untuk nelayan pembantu sebanyak 4 orang.
Seperti yang telah dijelaskan di muka, esensi dari tradisi rompong di kawasan perairan Bugis adalah bahwa secara adat dan kebiasaan terdapat klaim penguasaan suatu kawasan perairan tertentu. Menurut Saad (1994), setiap rompong biasanya meliputi luas perairan kurang lebih 10.000 m2 yang diukur secara simetris masing- masing sepanjang 250 meter pada satu sisi (sejajar arus air) dan masing-masing sepuluh meter pada sisi lainnya. Luasan tersebut setara dengan satu hektar.
Lebih lanjut Saad (1994) mengemukakan bahwa nelayan yang memiliki rompong tersebut memasang rompong secara berkelompok, dimana setiap nelayan rata-rata memiliki rompong antara lima dan enam unit (5,75 Ha). Besarnya kelompok tergantung dari lingkungan perairan yang dinilai oleh mereka memiliki potensi yang besar. Jadi, sebelum merompong, biasanya perairan tersebut diperiksa terlebih dahulu (seperti pola arus bawah dan permukaan, arah angin dan keadaan karang) dengan cara melakukan penyelaman.
Tempat-tempat rompong dipasang, biasanya diberi nama seperti nama desa. Sebagai contoh, untuk kawasan yang dimiliki oleh para perrompong yang bermukim di Kelurahan Bantengnge terdiri atas enam kawasan, yaitu kawasan Sangnge, Mabelae, Rilau, Riase, Tengngae dan Lembang (Saad, 1994).
Download File>> Google Drive atau Academia
Posting Komentar